‘ILLAT DALAM PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
DOI:
https://doi.org/10.22373/jiis.v6i1.111Keywords:
’Illat, Islamic Law, Ushul FiqhAbstract
Abstract: In the terminology of Ushul Fiqh scholars, qiyas is defined as finding similarities between two events using analogical deduction, i.e. creating/withdrawing a new line of law from an old line of law, with the intention of using the new line of law in a situation, because the new line of law has a similar ‘illat' with the old line of law. Or in other words, qiyas is the result of thinking by "deductive analogy". One example of determining the law by means of qiyas, namely drinking narcotics is an act that needs to be determined by law, while there is no text that can be used as a legal basis. In the historical trajectory of the development of fiqh thought (Islamic law) there are at least two terms that are used as a paradigm or frame of reference in the development of Islamic law, namely based on textual methodological bases, and contextual and responding to contemporary problems using various approaches. The study and excavation of Islamic law whose methodological basis is based on textual understanding of the nash in its history initially became the most dominant in the process of legal discovery and is also the most complicated and complex part of its application. So it can be concluded that in the study of ushul fiqh, ‘illat is a very important element in the process of determining the law. Therefore, the existence of ‘illat is inseparable in the process of determining (tasyri' al-ahkam) Islamic law itself. Based on this understanding, the ushul scholars formulated a formulation which later became a standard rule about ‘illat, that the law will always be linked to the underlying ‘illat, there is ‘illat there is a law and if it does not exist then the law becomes absent (al-Hukm yaduru Ma'a al-’illatih wujudan wa'adaman). As for the procedure in determining and finding ‘illat, namely by taking various steps known as al-masalik al-’illat, namely through/using al-nash both Al-Qur'an and al-Sunnah and by doing istinbath or ijtihad. Determination and discovery of ‘illat through nash is ‘illat indicated by the text of the Qur'an and al-Sunnah either directly clearly, which is called al-Manshushah or indirectly which can only be known through istinbath which is then known as ‘illat Mustanbanthah, as well as other ways by looking at the relationship between the law and something that causes the birth of the law. In fact, from the past until now, efforts to develop the law will continue to occur and take place in accordance with the development of situations, times and places. The development of Islamic law will always be associated with the ‘illat which is the basis or reason for the birth of a provision of shara'a law.
Keywords: ’Illat; Islamic Law; Ushul Fiqh.
Abstrak: Dalam peristilahan ulama Ushul Fiqh, qiyas diartikan mencari persamaan di antara dua peristiwa dengan mengunakan cara deduksi (analogical deduction), yaitu menciptakan/menarik suatu garis hukum baru dari garis hukum yang lama, dengan maksud memakai garis hukum baru itu pada suatu keadaan, karena garis hukum baru itu ada persamaan ‘illat-nya dengan garis hukum yang lama. Atau dengan pengertian lain, qiyas adalah hasil pemikiran secara “analogi deduktif”. Salah satu contoh penetapan hukum dengan jalan qiyas, yaitu minum narkotik suatu perbuatan yang perlu ditetapkan hukumnya, sedangkan tidak ada ditemui nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya. Dalam lintasan sejarah perkembangan pemikiran fikih (hukum Islam) paling tidak terdapat dua terminologi yang dijadikan paradigma atau kerangka acuan dalam pengembangan hukum Islam, yaitu berpijak pada basis metodologis tekstual, dan kontektual serta merespon masalah-masalah kontemporer dengan menggunakan berbagai pendekatan. Pengkajian dan penggalian hukum Islam yang basis metodologisnya berpijak pada pemahaman tekstual nash dalam sejarahnya awalnya menjadi paling dominan dalam proses penemuan hukum dan juga sekaligus merupakan bagian yang paling rumit dan kompleks dalam aplikasinya. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam kajian ushul fiqh, ‘illat adalah merupakan unsur yang sangat penting dalam proses penetapan hukum. Oleh karena itu, eksistensi ‘illat tidak terpisahkan dalam proses penetapan (tasyri’ al-ahkam) hukum Islam itu sendiri. Berpijak pada pemahaman ini, maka ulama ushul memformulasikan satu rumusan yang kemudian menjadi kaidah yang baku tentang ‘illat, bahwa hukum itu akan selalu tepaut dengan ‘illat yang mendasarinya, ada ‘illat ada hukum dan bila tidak ada maka hukum menjadi tidak ada (al-Hukm yaduru Ma’a al-’illatih wujudan wa‘adaman). Adapun prosedur dalam penetapan dan penemuan ‘illat, yakni dengan menempuh berbagai langkah yang dikenal dengan sebutan al-masalik al-’illat, yaitu melalui/menggunakan al-nash baik Al-Qur’an maupun al-Sunnah dan dengan melakukan istinbath atau ijtihad. Penetapan dan penemuan ‘illat melalui nash ialah ‘illat yang ditunjukkan oleh nash Al-Qur’an dan al-Sunnah baik secara langsung dengan jelas, yang disebut dengan al-Manshushah maupun tidak langsung yang hanya dapat diketahui melalui istinbath yang kemudian dikenal dengan sebut ‘illat Mustanbanthah, serta cara-cara lain dengan melihat keterkaitan hukum dengan sesuatu yang menjadi sebab lahirnya hukum. Dalam kenyataannya, sejak dulu hingga sekarang ini, usaha pengembangan hukum akan terus terjadi dan berlangsung sesuai dengan perkembangan situasi, zaman dan tempat. Pengembangan hukum Islam ini akan selalu dikaitkan dengan ‘illat yang menjadi dasar atau alasan kelahiran suatu ketentuan hukum syara’tersebut.
Kata Kunci: ‘Illat; Hukum Islam; Ushul Fiqh.
References
Adhar, “Pernikahan di bawah umur (kajian masyarakat taman dato senu sentul utama)”, Skripsi pada Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 2011.
Abdullah, Sulaiman. (1996). Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Abd. Rahman, Jalaluddin. (1983). al-Mashalih al-Mursalah wa Makanatuha Fi al-Tasyri’. Mesir: Maktabah al-Saidah.
Abubakar, Alyasa. “Teori ‘illat dan Penalaran Ta’lili”, dalam Tjun Surjaman (Edit.), Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek. Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Al-Ghazali. (1971). al-Mustasfa. Mesir: Makatabah al-Jundiyah.
Al-Kamali, Abdullah Yahya. (2000). Maqashid al-Syari’at al-Islamiyah Fi Dlau’Fiqh al-Muawazanahlm. Beirut: Dar Ibn Hazm.
Al-Khin, Mushthafa Said. (1421). al-Kafi wa al-Wafi fi Ushul al-fiqh al-Islami. Beirut: Muassasat al-Risalah.
Al-Namilah, Abd. Al-Karim bin Ali bin Muhammad. (1999). Syarh al-Minhaj li al-Baidhawi fi Ilm al-Ushul. Riyadh: Maktabah al-Rusyd.
Al-Syatibi, Abi Ishaq. (tt). Al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’ahlm. Riyadl: Maktabah al-Hadisah.
Al-Qardhâwî, Yûsuf. (1985). ‘Awâmil al-Sa‘at wa al-Murûnah fî al-Syarî‘ah alIslâmîyah. Kairo: Dâr al-Syahwah.
Hasan, Ahmad. (1984). Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Terjemahan Agah Garnad. Bandung: Pustaka.
Husen, Ibrahim. “Perluasan Cakrawala Zakat dan Efesiensi Pendayagunaannya” dalam Mimbar Ulama edisi Oktober. Jakarta: 1989.
Madkur, Salam. (1984). Al-Ijtihad Fi al-Tasyri’ al-Islami. Kairo: Dar al-Nahdah, al-Arabiyah.
Muhammad bin Ali bin al-Thayyib, Abil al-Husain. (tt) al-Mutamad fi Ushul alFiqh. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Nuruddin, Amiur. (1987). Ijtihad Umar Ibn al-Khatab: Studi Tentang Perubahan Hukum Dalam Islam. Jakarta: Rajawali Pess.
Rahmat, Jalaluddin. "Kontroversi Sekitar Ijtihad Umar" dalam: Iqbal Abdurrauf Saimina (ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta: Pustaka: Panjimas. 1988.
Downloads
Published
How to Cite
Issue
Section
License
Copyright (c) 2024 Zaki Satria
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.