SYARIAH: Journal of Islamic Law http://ejournal.stisnu-aceh.ac.id/index.php/JIIS <p><strong>SYARIAH: Journal of Islamic Law</strong> is an open-access journal published by STISNU Aceh. The journal is concerned with scientific publications relating to the study of Islamic law. Islamic law can be Islamic Economic Law, Islamic Family Law, Islamic Criminal Law, Islamic Constitutional Law, Zakat and Waqf Law, and Thought of Contemporary Islamic Law focused on the development of Islamic Law (sharia), and legislation which has done through library research, or field research.</p> <p>The publication of this academic journal is intended to enrich vocabulary Islamic law that has been developing in the present. This journal is published biannually in June and December. The journal is currently indexed and/or included by Google Scholar, etc.</p> <p>Every received article should follow Author guideline. Any submitted paper will be reviewed by reviewers. Review process employs with blind Review that the reviewer does not know the identity of the author, and the author does not know the identity of the reviewers.</p> Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Nahdlatul Ulama Aceh en-US SYARIAH: Journal of Islamic Law 2722-0834 PEMBATASAN USIA PERKAWINAN DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2019 (Studi Kasus di Dayah Markaz Al-Ishlah Al-‘Aziziyah) http://ejournal.stisnu-aceh.ac.id/index.php/JIIS/article/view/110 <p><strong>Abstract: </strong>This study attempts to analyze how the age restrictions for underage marriage are studied according to Islamic law and UU no. 16 of 2019 which is a case study at Dayah Markaz Al-Ishlah Al-'Aziziyah. This study is a normative study carried out by researchers by reviewing and studying materials in the form of regulations and laws relating to age limits for marriage to minors. The results of the research show that in Islamic law, the minimum age limit for a person to enter into marriage is not stated explicitly, but refers to the meaning of puberty, namely that a person is considered an adult if they have had a wet dream (<em>ihtilam</em>) for men and experienced menstruation for women and experienced signs of other signs. Meanwhile, according to marriage law, the minimum age for a person to get married is 19 years for both men and women.</p> <p><strong>Keywords: </strong><strong>Underage Marriage, Islamic Law; Legislation</strong><strong>.</strong></p> <p><strong>Abstrak: </strong>Kajian ini berusaha menganalisa tentang bagaimana pembatasan usia perkawinan di bawah umur yang dikaji menurut hukum Islam dan uu No. 16 tahun 2019 yang merupakan studi kasus di Dayah Markaz Al-Ishlah Al-‘Aziziyah. Kajian ini adalah kajian normative yang dilakukan peneliti dengan cara mengkaji dan mempelajari bahan-bahan yang berupa peraturan-peraturan dan undang-undang yang berkaitan dengan pembatasan usia perkawinan di bawah umur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hukum Islam, batas usia minimal seseorang untuk dapat melangsungkan perkawinan tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi mengacu pada makna baligh yaitu seseorang dianggap dewasa apabila pernah bermimpi basah (<em>ihtilam</em>) bagi laki-laki dan mengalami haidh bagi perempuan serta mengalami tanda-tanda lainnya. Sedangkan dalam undang-undang perkawinan usia minimal seseorang untuk dapat melakukan perkawinan adalah 19 tahun baik untuk laki-laki maupun perempuan.</p> <p><strong>Kata Kunci: Pernikahan di Bawah Umur, Hukum Islam; Undang-undang.</strong></p> Tgk. Lina Rahmalia Zahriani Copyright (c) 2024 Tgk. Lina Rahmalia, Zahriani https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 2024-06-12 2024-06-12 6 1 1 27 10.22373/jiis.v6i1.110 ‘ILLAT DALAM PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM http://ejournal.stisnu-aceh.ac.id/index.php/JIIS/article/view/111 <p><strong>Abstract: </strong>In the terminology of Ushul Fiqh scholars, qiyas is defined as finding similarities between two events using analogical deduction, i.e. creating/withdrawing a new line of law from an old line of law, with the intention of using the new line of law in a situation, because the new line of law has a similar <em>‘illat</em>' with the old line of law. Or in other words, qiyas is the result of thinking by "deductive analogy". One example of determining the law by means of qiyas, namely drinking narcotics is an act that needs to be determined by law, while there is no text that can be used as a legal basis. In the historical trajectory of the development of fiqh thought (Islamic law) there are at least two terms that are used as a paradigm or frame of reference in the development of Islamic law, namely based on textual methodological bases, and contextual and responding to contemporary problems using various approaches. The study and excavation of Islamic law whose methodological basis is based on textual understanding of the nash in its history initially became the most dominant in the process of legal discovery and is also the most complicated and complex part of its application. So it can be concluded that in the study of ushul fiqh, <em>‘illat</em> is a very important element in the process of determining the law. Therefore, the existence of <em>‘illat</em> is inseparable in the process of determining (tasyri' al-ahkam) Islamic law itself. Based on this understanding, the ushul scholars formulated a formulation which later became a standard rule about <em>‘illat</em>, that the law will always be linked to the underlying <em>‘illat</em>, there is <em>‘illat</em> there is a law and if it does not exist then the law becomes absent (al-Hukm yaduru Ma'a al-<em>’illat</em>ih wujudan wa'adaman). As for the procedure in determining and finding <em>‘illat</em>, namely by taking various steps known as al-masalik al-<em>’illat</em>, namely through/using al-nash both Al-Qur'an and al-Sunnah and by doing istinbath or ijtihad. Determination and discovery of <em>‘illat</em> through nash is <em>‘illat</em> indicated by the text of the Qur'an and al-Sunnah either directly clearly, which is called al-Manshushah or indirectly which can only be known through istinbath which is then known as <em>‘illat</em> Mustanbanthah, as well as other ways by looking at the relationship between the law and something that causes the birth of the law. In fact, from the past until now, efforts to develop the law will continue to occur and take place in accordance with the development of situations, times and places. The development of Islamic law will always be associated with the <em>‘illat</em> which is the basis or reason for the birth of a provision of shara'a law.</p> <p><strong>Keywords: <em>’Illat</em>; Islamic Law; Ushul Fiqh.</strong></p> <p><strong>Abstrak: </strong>Dalam peristilahan ulama Ushul Fiqh, qiyas diartikan mencari persamaan di antara dua peristiwa dengan mengunakan cara deduksi (<em>analogical deduction</em>), yaitu menciptakan/menarik suatu garis hukum baru dari garis hukum yang lama, dengan maksud memakai garis hukum baru itu pada suatu keadaan, karena garis hukum baru itu ada persamaan <em>‘illat</em>-nya dengan garis hukum yang lama. Atau dengan pengertian lain, qiyas adalah hasil pemikiran secara “analogi deduktif”. Salah satu contoh penetapan hukum dengan jalan qiyas, yaitu minum narkotik suatu perbuatan yang perlu ditetapkan hukumnya, sedangkan tidak ada ditemui nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya. Dalam lintasan sejarah perkembangan pemikiran fikih (hukum Islam) paling tidak terdapat dua terminologi yang dijadikan paradigma atau kerangka acuan dalam pengembangan hukum Islam, yaitu berpijak pada basis metodologis tekstual, dan kontektual serta merespon masalah-masalah kontemporer dengan menggunakan berbagai pendekatan. Pengkajian dan penggalian hukum Islam yang basis metodologisnya berpijak pada pemahaman tekstual nash dalam sejarahnya awalnya menjadi paling dominan dalam proses penemuan hukum dan juga sekaligus merupakan bagian yang paling rumit dan kompleks dalam aplikasinya. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam kajian ushul fiqh, <em>‘illat</em> adalah merupakan unsur yang sangat penting dalam proses penetapan hukum. Oleh karena itu, eksistensi <em>‘illat</em> tidak terpisahkan dalam proses penetapan (<em>tasyri’ al-ahkam</em>) hukum Islam itu sendiri. Berpijak pada pemahaman ini, maka ulama ushul memformulasikan satu rumusan yang kemudian menjadi kaidah yang baku tentang <em>‘illat</em>, bahwa hukum itu akan selalu tepaut dengan <em>‘illat</em> yang mendasarinya, ada <em>‘illat</em> ada hukum dan bila tidak ada maka hukum menjadi tidak ada (<em>al-Hukm yaduru Ma’a al-’illatih wujudan wa‘adaman</em>). Adapun prosedur dalam penetapan dan penemuan <em>‘illat</em>, yakni dengan menempuh berbagai langkah yang dikenal dengan sebutan <em>al-masalik al-’illat</em>, yaitu melalui/menggunakan al-nash baik Al-Qur’an maupun al-Sunnah dan dengan melakukan istinbath atau ijtihad. Penetapan dan penemuan <em>‘illat</em> melalui nash ialah <em>‘illat</em> yang ditunjukkan oleh nash Al-Qur’an dan al-Sunnah baik secara langsung dengan jelas, yang disebut dengan <em>al-Manshushah</em> maupun tidak langsung yang hanya dapat diketahui melalui istinbath yang kemudian dikenal dengan sebut <em>‘illat</em><em> Mustanbanthah</em>, serta cara-cara lain dengan melihat keterkaitan hukum dengan sesuatu yang menjadi sebab lahirnya hukum. Dalam kenyataannya, sejak dulu hingga sekarang ini, usaha pengembangan hukum akan terus terjadi dan berlangsung sesuai dengan perkembangan situasi, zaman dan tempat. Pengembangan hukum Islam ini akan selalu dikaitkan dengan <em>‘illat</em> yang menjadi dasar atau alasan kelahiran suatu ketentuan hukum syara’tersebut.</p> <p><strong>Kata Kunci</strong><strong>:</strong> <strong><em>‘Illat</em></strong><strong>; Hukum Islam; Ushul Fiqh</strong><strong>.</strong></p> Zaki Satria Copyright (c) 2024 Zaki Satria https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 2024-06-14 2024-06-14 6 1 28 50 10.22373/jiis.v6i1.111 TINJAUAN FIQH MUAMALAH TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI DENGAN SISTEM ARISAN PADA RESELLER ROYALE PREMIUM http://ejournal.stisnu-aceh.ac.id/index.php/JIIS/article/view/112 <p><strong>Abstract: </strong>This research was conducted to determine the practice of buying and selling using the social gathering system at Royale Premium resellers and what the view of muamalah fiqh is towards the practice of buying and selling using the social gathering system at Royale Premium resellers. This research is included in research with qualitative methods. The data sources in this research were obtained through interviews with sellers and social gathering participants. The documentation used is in the form of documents originating from the seller's WhatsApp account documentation or other documents. The results of the research show that the practice of arisan at Royale Premium resellers is that people who are interested will directly contact the seller to discuss the procedures for becoming an arisan participant, determining the winner is determined based on a lottery which is drawn once a month, and the period for holding the arisan is five months for five participants and others -other. Based on Islamic law, the practice of mukena social gathering is permitted (mubah) because it is a form of buying and selling <em>istishna</em>'. Meanwhile, regarding changes in the installments that participants must pay due to the increase in the price of mukena, it is considered usury, because indirectly they are required to pay more than the installments they previously paid.</p> <p><strong>Keywords: Muamalah Fiqh; Buy and Sell; Lottery club.</strong></p> <p><strong>Abstrak: </strong>Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui praktik jual beli dengan sistem arisan pada <em>Reseller Royale Premium</em> dan bagaimana pandangan fiqh muamalah terhadap praktik jual beli dengan sistem arisan pada <em>Reseller Royale Premium</em> tersebut. Penelitian ini termasuk dalam penelitian dengan metode kualitatif. Adapun sumber data dalam penelitian ini diperoleh melalui metode wawancara terhadap penjual dan peserta arisan. Dokumentasi yang digunakan berupa dokumen yang berasal dari dokumentasi akun WhatsApp penjual maupun dokumen lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik arisan pada <em>Reseller Royale Premium</em> adalah masyarakat yang berminat akan langsung menghubungi penjual untuk berdiskusi mengenai tata cara menjadi peserta arisan, penentuan pemenang ditentukan berdasarkan undian yang dikocok sebulan sekali, dan jangka waktu pelaksanaan arisan adalah lima bulan untuk lima peserta dan lain-lain. Berdasarkan hukum Islam praktik arisan mukena tersebut diperbolehkan (mubah) karena merupakan bentuk dari jual beli <em>istishna</em><em>’</em>. Sedangkan mengenai perubahan angsuran yang harus dibayar peserta disebabkan kenaikan harga mukena termasuk ke dalam riba, karena secara tidak langsung dia diwajibkan membayar lebih dari angsuran yang dia setorkan sebelumnya.</p> <p><strong>Kata Kunci: Fiqh Muamalah; Jual beli; Arisan.</strong></p> Zaharullah Copyright (c) 2024 Zaharullah https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 2024-06-14 2024-06-14 6 1 51 69 10.22373/jiis.v6i1.112 ANALISIS KOMPARATIF MASLAHAH DAN MAFSADAH DALAM TRANSAKSI JUAL BELI URBUN ANTARA MAZHAB FIQIH http://ejournal.stisnu-aceh.ac.id/index.php/JIIS/article/view/113 <p><strong>Abstract: </strong>The <em>urbun</em> sale and purchase transaction is one of the economic practices that has attracted attention in the study of Islamic fiqh. <em>Urbun</em> is a concept in which the buyer pays part of the price of the goods to the seller as a guarantee of his seriousness in making the purchase. This study aims to analyze the <em>urbun</em> sale and purchase transaction from the perspective of <em>maslahah</em> (benefit) and <em>mafsadah</em> (harm) in the schools of fiqh. The research methodology involves a comparative analysis between the views of several leading schools of fiqh, including the Syafi'i, Maliki, Hanbali and Hanafi schools. The findings of the study show that there are variations of opinion among the madhhabs regarding the legality, <em>maslahah</em>, and <em>mafsadah</em> in <em>urbun</em> sale transactions. Some madhhabs may see <em>urbun</em> as a practice that can provide benefits to the parties involved, while others may see it as potentially causing harm. The results of this analysis are expected to provide a better understanding of the legal and moral implications of <em>urbun</em> sale transactions in the context of justice and social welfare in Islamic society.</p> <p><strong>Keywords: Sale and Purchase Transactions; <em>Urbun</em>; <em>Maslahah</em>; <em>Mafsadah</em>; Islamic Fiqh; Comparative Analysis.</strong></p> <p><strong>Abstrak: </strong>Transaksi jual beli <em>urbun</em> adalah salah satu praktik ekonomi yang menarik perhatian dalam studi fiqh Islam. <em>Urbun</em> adalah konsep di mana pembeli membayar sebagian harga barang kepada penjual sebagai jaminan keseriusannya dalam melakukan pembelian. Studi ini bertujuan untuk menganalisis transaksi jual beli <em>urbun</em> dari perspektif <em>maslahah</em> (kepentingan) dan <em>mafsadah</em> (kerugian) dalam mazhab fiqih. Metodologi penelitian ini melibatkan analisis komparatif antara pandangan beberapa mazhab fiqih terkemuka, termasuk Mazhab Syafi'i, Maliki, Hanbali, dan Hanafi. Temuan studi menunjukkan bahwa ada variasi pendapat di antara mazhab-mazhab tersebut mengenai legalitas, <em>maslahah</em>, dan <em>mafsadah</em> dalam transaksi jual beli <em>urbun</em>. Beberapa mazhab mungkin melihat <em>urbun</em> sebagai praktik yang dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang terlibat, sementara yang lain mungkin menganggapnya berpotensi menimbulkan kerugian. Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang implikasi hukum dan moral transaksi jual beli <em>urbun</em> dalam konteks keadilan dan kesejahteraan sosial dalam masyarakat Islam.</p> <p><strong>Kata Kunci: Transaksi Jual Beli; <em>Urbun</em>;, <em>Maslahah</em>; <em>Mafsadah</em>; Fiqh Islam; Analisis Komparatif.</strong></p> Salman Copyright (c) 2024 Salman https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 2024-06-15 2024-06-15 6 1 60 71 10.22373/jiis.v6i1.113 WASIAT WAJIBAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) TINJAUAN MAQASHID SYARI’AH http://ejournal.stisnu-aceh.ac.id/index.php/JIIS/article/view/114 <p><strong>Abstract: </strong>A mandatory will is a will given to close relatives who do not get a share of the inheritance of the heir, either because it includes <em>dzawil ahram</em>, <em>dzawil qurba</em>, <em>wala 'muwalah</em> relationship, or mahram whose parents are people who are entitled to receive the inheritance. The understanding of this definition is different from its application in Indonesia, KHI states that one of those entitled to receive a mandatory will is an adopted child. Adopted children who have been cared for and receive a lot of help from their adoptive parents will benefit more from the mandatory will, so that it can cause losses for other heirs. The existence of this adopted child has become a controversial phenomenon in inheritance matters. Responding to the differences between theory and practice that exist in society, in-depth research is needed to find similarities in concepts and views, one of which can be taken or viewed from the <em>maqashid shari'ah</em>. Based on this, this study seeks to answer the concept of will in Islamic fiqh and KHI as well as the concept of giving mandatory wills for adopted children according to <em>maqashid shari'ah.</em></p> <p><strong>Keywords: </strong><strong>Mandatory Will; KHI; <em>Maqashid Shari’ah</em></strong><strong>.</strong></p> <p><strong>Abstrak: </strong>Wasiat <em>wajibah</em> adalah wasiat yang diberikan kepada kerabat dekat yang tidak mendapatkan bagian harta peninggalan pewaris, baik karena termasuk <em>dzawil ahram</em>, <em>dzawil qurba</em>, hubungan <em>wala’ muwalah</em>, maupun mahram yang orang tuanya adalah orang yang berhak menerima warisan. Pemahaman dari pengertian ini berbeda dengan aplikasinya di Indonesia, KHI menyebutkan bahwa salah satu yang berhak menerima wasiat <em>wajibah</em> adalah anak angkat. Anak angkat yang selama ini telah dipelihara dan banyak menerima bantuan dari orang tua angkatnya akan mendapatkan keuntungan yang lebih dari wasiat <em>wajibah</em> tersebut, sehingga bisa menimbulkan kerugian bagi ahli waris yang lain. Keberadaan anak angkat ini menjadi fenomena yang kontroversial dalam urusan harta warisan. Menyikapi perbedaan antara teori dan praktik yang ada dalam masyarakat, diperlukan penelitian yang mendalam untuk menemukan kesamaan konsep dan pandangan, salah satunya dapat ditempuh atau ditinjau dari <em>maqashid syari’ah. </em>Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini berusaha menjawab tentang konsep wasiat dalam fiqh Islam dan KHI serta konsep pemberian wasiat <em>wajibah</em> bagi anak angkat menurut <em>maqashid syari’ah</em>.</p> <p><strong>Kata Kunci: Wasiat <em>Wajibah</em>; KHI; <em>Maqashid Shari’ah</em>.</strong></p> Emi Yasir Copyright (c) 2024 Emi Yasir https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 2024-06-15 2024-06-15 6 1 72 95 10.22373/jiis.v6i1.114 TINJAUAN PENDAPAT IBNU HAZM TERHADAP KETIDAKBOLEHAN FASAKH BAGI SUAMI YANG TIDAK SANGGUP MENAFKAHI ISTRI http://ejournal.stisnu-aceh.ac.id/index.php/JIIS/article/view/116 <p><strong>Abstract: </strong><em>Fasakh</em> is the cancellation of the marriage contract due to dishonor that is discovered after the contract, either after sexual intercourse or before. The Jumhur School, including the Syafii School, agrees that it is permissible to carry out a divorce, be it divorce, <em>khuluk</em>, <em>fasakh</em> or other forms when the relationship between husband and wife is in harmony, peace and tranquility. Meanwhile, Ibn Hazm rejected the marriage fasakh on the grounds that he was disabled or unable to support his wife. This thesis examines Ibn Hazm's opinion regarding the impermissibility of fasakh for husbands who are unable to support their wives. The purpose of this thesis research is to find out what Ibn Hazm's opinion is about the impermissibility of <em>fasakh</em> for husbands who are unable to support their wives and to find out what Ibn Hazm's legal method of istinbath relates to the impermissibility of <em>fasakh</em> for husbands who are unable to support their wives. The type of research used in this research is library research, namely research that uses library facilities such as books, books and others related to this thesis, so that accurate and clear data is found. The data source used in this research is a secondary data source, namely data obtained and carefully traced from the book Al-Muhalla. Ibn Hazm is of the opinion that marriage cannot always be in fasakh either because of disability or not being able to provide for his wife. Ibn Hazm argued that there is no valid argument or text, whether contained in the Qur'an, Sunnah, ijma', qiyas, or logic, which allows this <em>fasakh</em>. The legal istinbath method used by Ibn Hazm as the developer of the Zhahiri school of law in determining law always adheres to the Qur'an, hadith, ijma' ulama', and propositions. In <em>istinbath </em>of Islamic law, Ibn Hazm rejected <em>ra'yu</em> as a tool of istinbath in Islamic law.</p> <p><strong>Keywords: Fasakh; Livelihood; Ibn Hazm's Opinion.</strong></p> <p><strong>Abstrak: </strong><em>Fasakh</em> adalah pembatalan akad nikah karena sebab aib yang diketahui setelah akad, baik setelah hubungan badan atau&nbsp;sebelumnya. Mazhab Jumhur termasuk di dalamnya Mazhab Syafii, sepakat bahwa dimakruhkan melakukan perceraian baik itu <em>talak</em>, <em>khuluk</em>, <em>fasakh</em> maupun bentuk lainnya ketika hubungan pergaulan suami istri dalam keadaan rukun, damai, dan tenteram. Sedangkan Ibnu Hazm menolak adanya <em>fasakh</em> nikah dengan alasan cacat atau tidak sanggup menafkahi istri. Skripsi ini meneliti tentang tinjauan pendapat Ibnu Hazm terhadap ketidakbolehan <em>fasakh</em> bagi suami yang tidak sanggup menafkahi istri. Tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana pendapat Ibnu Hazm tentang ketidakboleh <em>fasakh</em> bagi suami yang tidak sanggup menafkahi istri dan untuk mengetahui bagaimana metode istinbath hukum Ibnu Hazm terkait ketidakbolehan <em>fasakh</em> bagi suami yang tidak sanggup menafkahi istri. Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini merupakan peneletian pustaka (<em>library research</em>), yaitu penelitian yang menggunakan fasilitas pustaka seperti buku, kitab dan yang lainnya yang berkaitan dengan skripsi ini, sehingga di temukan data-data yang akurat dan jelas. Suber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh dan ditelusuri secara cermat dari kitab Al-Muhalla<em>. </em>Ibnu Hazm berpendapat bahwa pernikahan selamanya tidak dapat di <em>fasakh</em> baik disebabkan karna cacat atau tidak sanggup menafakahi istrinya. Ibnu Hazm beralasan bahwa tidak ada dalil atau nas yang sahih, baik itu yang terdapat dalam al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, ataupun logika, yang membolehkan <em>fasakh</em> tersebut. Adapun Metode istinbath hukum yang dijadikan oleh Ibnu Hazm sebagai pengembang madzhab Zhahiri dalam menetapkan hukum selalu berpegang pada al-Qur’an, hadits, ijma’ ulama’, dan dalil. Dalam istinbath hukum Islam Ibnu Hazm menolak <em>ra’yu</em> sebagai alat <em>istinbath</em> dalam hukum Islam.</p> <p><strong>Kata Kunci: <em>Fasakh</em>; Nafkah; Pendapat Ibnu Hazm.</strong></p> Maimun Abdurrahman Amin Ahmad Ikbar Fuadi Copyright (c) 2024 Maimun Abdurrahman Amin, Ahmad Ikbar Fuadi https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 2024-06-30 2024-06-30 6 1 96 128 10.22373/jiis.v6i1.116 PENERAPAN KAFA’AH DALAM PERKAWINAN MENURUT FIQH Al- SYAFI’IAH http://ejournal.stisnu-aceh.ac.id/index.php/JIIS/article/view/118 <p><strong>Abstract: </strong>Marriage is the physical and spiritual bond between a man and a woman as husband and wife with the aim of forming a family. One of the things that must be considered in marriage is <em>kafa’ah</em>, namely compatibility and equality. Every human being definitely has different perceptions of <em>kafa’ah</em>/equality and its implementation in marriage. This research is field research with data collection methods, in this research using interviews and documentation, as well as qualitative data analysis techniques using inductive thinking methods. That is, drawing conclusions starts from questions or specific facts leading to general conclusions. Data and facts resulting from field observations are compiled, processed, studied and then their meaning is drawn into general statements or conclusions. The results of this research show that the implementation of<em> kafa’ah</em> in marriage is generally in accordance with the concept of <em>kafa’ah</em>, although it is not optimal, this is because not all people understand the meaning of <em>kafa’ah</em>. In practice, prospective husbands and prospective wives will choose a partner who meets the desired criteria, namely being beautiful/handsome, well-off, from a good family, and devout in worship. Because not all prospective partners know that there are more important factors in selection, the priority for determining equality is to choose candidates based only on their material. This is what makes the implementation of <em>kafa’ah</em> in marriage not optimal.</p> <p><strong>Keywords: Application of<em> Kafa’ah</em>; Syafi'i; Darul Imarah District.</strong></p> <p><strong>Abstrak: </strong>Pernikahan ialah ikatan lahir dan batin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga. Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam pernikahan adalah <em>kafa’ah</em> yaitu kesesuaian, kesetaraan. Setiap manusia pasti memiliki perbedaan persepsi terhadap <em>kafa’ah</em>/kesetaraan dan implementasinya dalam pernikahan. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (<em>field research</em>) dengan metode pengumpulan data, dalam penelitian ini menggunakan wawancara dan dokumentasi, serta teknik analisis data kualitatif dengan menggunakan metode berfikir induktif. Yaitu pengambilan kesimpulan dimulai dari pertanyaan atau fakta-fakta khusus menuju pada kesimpulan yang bersifat umum. Data dan fakta hasil pengamatan lapangan disusun, diolah, dikaji kemudian ditarik maknanya dalam pernyataan atau kesimpulan yang bersifat umum. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa implementasi <em>kafa’ah</em> dalam pernikahan secara umum sudah sesuai dengan konsep <em>kafa’ah</em>, meskipun belum maksimal, hal tersebut dikarenakan tidak semua masyarakat memahami arti <em>kafa’ah</em>. Dalam prakteknya, calon suami dan calon istri akan memilih pasangan yang sesuai dengan kriteria yang diinginkan, yaitu berparas cantik/tampan, berkecukupan, dari keluarga yang baik-baik, dan taat beribadah. Karena tidak semua calon pasangan mengetahui jika ada faktor yang lebih utama dalam pemilihan, maka yang menjadi prioritas untuk menentukan kesetaraan adalah memilih calon hanya dilihat dari materinya. Hal ini yang menjadikan implementasi <em>kafa’ah</em> dalam perkawinan belum maksimal.</p> <p><strong>Kata Kunci: Penerapan <em>Kafa’ah</em>; Syafi’i; Kecamatan Darul Imarah.</strong></p> Nisaul Kamila Muhammad Yasir Copyright (c) 2024 Nisaul Kamila, Muhammad Yasir https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 2024-06-30 2024-06-30 6 1 129 175 10.22373/jiis.v6i1.118 PRAKTEK PENYALURAN ZAKAT BAGIAN FI SABILILLAH DI BAITUL MAL ACEH http://ejournal.stisnu-aceh.ac.id/index.php/JIIS/article/view/117 <p><strong>Abstrack: </strong>This research is raised about the practice of distributing zakat in the <em>fi sabilillah</em> part of Baitul Mal Aceh, in this case the author makes a legal comparison between the concept of <em>fi Sabilillah</em> in Baitul Mal Aceh and the concept of <em>fi sabilillah</em> according to the understanding of Shafi'iyah scholars. The evidence used by them is the same, namely Surah at-Taubah verse 60. The condition shows that there is a difference in understanding the naṣ. Therefore, research is important because it will reveal the diversity of understanding of Baitul Mal Aceh and Shafi'iyah Ulama. The problem in this study is, how is the practice of distributing zakat in Baitul Mal Aceh and what is the view of fiqh Syāfi'iyyah about the practice of distributing zakat fi sabilillah in Baitul Mal Aceh. Based on the data collection method, this research is categorized as library research and field research. The findings of this research are first, Baitul Mal Aceh is an amil of zakat authorized by the Aceh Regional Government to manage and empower zakat by the decision of the Governor of Aceh (KGA). Furthermore, based on the naṣ interpretation of senif fi sabilillah, the Baitul Mal Aceh allows senif fi sabilillah to be given to all things that are good (<em>fi sabilil khair</em>) not only to people who are at war. In contrast to the Shafi'iyah Ulama who restrict it, so that senif fi sabilillah is only given to people who fight physical wars to exalt the religion of Allah. From the above explanation, it can be concluded that, Zakat part of fi sabilillah in Baitul Mal Aceh is distributed to all things that are good <em>(fi sabilil khair)</em> both in maintaining or preaching Islam, especially in areas prone to shallowness of faith, such as the construction of worship facilities, zakat discussion activities, assistance for Islamic organizations, da'i in areas prone to faith, assistance for facilities and operations of educational institutions in communities that have not yet Empowered. This is because the meaning of <em>fi sabilillah</em> is not limited to military war. In the fiqh of Syāfi'iyyah, <em>fi sabilillah</em> is only for war volunteers who do not have a budget from the State. The practice of zakat in the <em>fi sabilillah</em> part of Baitul Mal Aceh is contrary to the majority of Syāfi'iyyah fiqh scholars.</p> <p><strong>Keywords: Zakat </strong><strong>f</strong><strong>i Sabilillah</strong><strong>;</strong><strong> Fiqh Syafi'iyah</strong><strong>;</strong><strong> Baitul Mal Aceh</strong><strong>.</strong></p> <p><strong>Abstrak: </strong>Penelitian ini mengangkat tentang praktik pendistribusian zakat pada bagian <em>fi sabilillah</em> di Baitul Mal Aceh, dalam hal ini penulis melakukan perbandingan antara konsep <em>fi sabilillah</em> di Baitul Mal Aceh dengan konsep <em>fi sabilillah</em> menurut pemahaman ulama Syafi'iyah. Dalil yang digunakan oleh mereka adalah sama, yaitu surat at-Taubah ayat 60. Kondisi tersebut menunjukkan adanya perbedaan dalam memahami naṣh. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan karena akan mengungkap keragaman pemahaman Baitul Mal Aceh dan Ulama Syafi'iyah. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana praktik pendistribusian zakat di Baitul Mal Aceh dan bagaimana pandangan fikih Syafi'iyyah terhadap praktik pendistribusian zakat fi sabilillah di Baitul Mal Aceh. Berdasarkan metode pengumpulan data, penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kepustakaan (<em>library research</em>) dan penelitian lapangan (<em>field research</em>). Temuan dari penelitian ini adalah pertama, Baitul Mal Aceh merupakan amil zakat yang diberi kewenangan oleh Pemerintah Daerah Aceh untuk mengelola dan memberdayakan zakat dengan Keputusan Gubernur Aceh (KGA). Selanjutnya, berdasarkan penafsiran naṣh tentang <em>senif fi sabilillah</em>, Baitul Mal Aceh membolehkan <em>senif fi sabilillah</em> diberikan kepada semua hal yang baik (<em>fi sabilil khair</em>) tidak hanya kepada orang yang sedang berperang. Berbeda dengan Ulama Syafi'iyah yang membatasinya, sehingga <em>senif fi sabilillah</em> hanya diberikan kepada orang yang berperang secara fisik untuk meninggikan agama Allah. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa, zakat bagian <em>fi sabilillah</em> di Baitul Mal Aceh disalurkan untuk segala hal yang bersifat kebaikan (<em>fi sabilil khair</em>) baik dalam mempertahankan atau mendakwahkan Islam terutama di daerah-daerah yang rawan kedangkalan akidah, seperti pembangunan sarana peribadatan, kegiatan-kegiatan pengajian, bantuan untuk ormas-ormas Islam, para da'i di daerah-daerah yang rawan akidah, bantuan untuk sarana dan operasional lembaga-lembaga pendidikan di masyarakat yang belum berdaya. Hal ini karena makna <em>fi sabilillah</em> tidak terbatas pada perang secara militer. Dalam fikih Syafi'iyyah, <em>fi sabilillah</em> hanya diperuntukkan bagi para sukarelawan perang yang tidak memiliki anggaran dari Negara. Praktik zakat pada bagian <em>fi sabilillah</em> di Baitul Mal Aceh bertentangan dengan mayoritas ulama fikih Syāfi'iyyah.</p> <p><strong>Kata Kunci: Zakat <em>fi Sabilillah</em>; Fiqh Syafi'iyah; Baitul Mal Aceh.</strong></p> Sibram Malasi Afiq Budiawan Copyright (c) 2024 Ajhatul Ilham, Fakhrul Rijal https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 2024-06-30 2024-06-30 6 1 176 202 10.22373/jiis.v6i1.117