TINJAUAN PENDAPAT IBNU HAZM TERHADAP KETIDAKBOLEHAN FASAKH BAGI SUAMI YANG TIDAK SANGGUP MENAFKAHI ISTRI
DOI:
https://doi.org/10.22373/jiis.v6i1.116Keywords:
Fasakh, Livelihood, Ibn Hazm's OpinionAbstract
Abstract: Fasakh is the cancellation of the marriage contract due to dishonor that is discovered after the contract, either after sexual intercourse or before. The Jumhur School, including the Syafii School, agrees that it is permissible to carry out a divorce, be it divorce, khuluk, fasakh or other forms when the relationship between husband and wife is in harmony, peace and tranquility. Meanwhile, Ibn Hazm rejected the marriage fasakh on the grounds that he was disabled or unable to support his wife. This thesis examines Ibn Hazm's opinion regarding the impermissibility of fasakh for husbands who are unable to support their wives. The purpose of this thesis research is to find out what Ibn Hazm's opinion is about the impermissibility of fasakh for husbands who are unable to support their wives and to find out what Ibn Hazm's legal method of istinbath relates to the impermissibility of fasakh for husbands who are unable to support their wives. The type of research used in this research is library research, namely research that uses library facilities such as books, books and others related to this thesis, so that accurate and clear data is found. The data source used in this research is a secondary data source, namely data obtained and carefully traced from the book Al-Muhalla. Ibn Hazm is of the opinion that marriage cannot always be in fasakh either because of disability or not being able to provide for his wife. Ibn Hazm argued that there is no valid argument or text, whether contained in the Qur'an, Sunnah, ijma', qiyas, or logic, which allows this fasakh. The legal istinbath method used by Ibn Hazm as the developer of the Zhahiri school of law in determining law always adheres to the Qur'an, hadith, ijma' ulama', and propositions. In istinbath of Islamic law, Ibn Hazm rejected ra'yu as a tool of istinbath in Islamic law.
Keywords: Fasakh; Livelihood; Ibn Hazm's Opinion.
Abstrak: Fasakh adalah pembatalan akad nikah karena sebab aib yang diketahui setelah akad, baik setelah hubungan badan atau sebelumnya. Mazhab Jumhur termasuk di dalamnya Mazhab Syafii, sepakat bahwa dimakruhkan melakukan perceraian baik itu talak, khuluk, fasakh maupun bentuk lainnya ketika hubungan pergaulan suami istri dalam keadaan rukun, damai, dan tenteram. Sedangkan Ibnu Hazm menolak adanya fasakh nikah dengan alasan cacat atau tidak sanggup menafkahi istri. Skripsi ini meneliti tentang tinjauan pendapat Ibnu Hazm terhadap ketidakbolehan fasakh bagi suami yang tidak sanggup menafkahi istri. Tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana pendapat Ibnu Hazm tentang ketidakboleh fasakh bagi suami yang tidak sanggup menafkahi istri dan untuk mengetahui bagaimana metode istinbath hukum Ibnu Hazm terkait ketidakbolehan fasakh bagi suami yang tidak sanggup menafkahi istri. Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini merupakan peneletian pustaka (library research), yaitu penelitian yang menggunakan fasilitas pustaka seperti buku, kitab dan yang lainnya yang berkaitan dengan skripsi ini, sehingga di temukan data-data yang akurat dan jelas. Suber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh dan ditelusuri secara cermat dari kitab Al-Muhalla. Ibnu Hazm berpendapat bahwa pernikahan selamanya tidak dapat di fasakh baik disebabkan karna cacat atau tidak sanggup menafakahi istrinya. Ibnu Hazm beralasan bahwa tidak ada dalil atau nas yang sahih, baik itu yang terdapat dalam al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, ataupun logika, yang membolehkan fasakh tersebut. Adapun Metode istinbath hukum yang dijadikan oleh Ibnu Hazm sebagai pengembang madzhab Zhahiri dalam menetapkan hukum selalu berpegang pada al-Qur’an, hadits, ijma’ ulama’, dan dalil. Dalam istinbath hukum Islam Ibnu Hazm menolak ra’yu sebagai alat istinbath dalam hukum Islam.
Kata Kunci: Fasakh; Nafkah; Pendapat Ibnu Hazm.
References
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, cet. II, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997).
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid.
Ibnu Hazm, Al Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Mesir: Maktabah al Kinanji, 1347 H), jilid 3, cet, 1.
Ibnu Hazm, Al Muhalla, (Beirut: Dar al-Fikr, th), juz. IX.
Imam Syafii, Ringkasan Kitab Al-Úmm, Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007).
Ismail, Jam’u Jawami’ al-Musannifati.
Kamal Muchtar, Asas – Asas Hukum Islam Tentang Perkahwinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993).
Mochtar Effendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001).
Muhamad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam, (Bina Ilmu: Surabaya, 2008).
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rowaaihul Bayan.
Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqí, Fiqih Empat Mazhab, (Terj. Abdullah Zaki Alkaf), (Bandung: Hasyimi, 2013).
Muhammad bin Ali Asy Syaukani, FathulQadir, Jilid I, (Darul Hadits: Kairo, 1992).
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih Sunan Ibnu Majah, Alih Bahasa Ahmad Taufiq Abdurrahman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), jilid 2.
Muhammad Yasir Nasutin, Manusia Menurut Al Ghazli, (Jakarta: Raja Wali Press, 1988).
Mukhtar Yahya dan Fathur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1993).
Nashrudin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Pelajar 1998).
Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
Rahman Alwi, Fiqih Mazhab al-Dhahiri, (Jakarta: Referensi, 2012).
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala, 2008), jilid 3.
Slamet Abidin, Fikih Munakahat II, (Bandung: Pustaka Setia, 1989).
Downloads
Published
How to Cite
Issue
Section
License
Copyright (c) 2024 Maimun Abdurrahman Amin, Ahmad Ikbar Fuadi
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.